Konsepsi-
Dalam membincangkan positivisme, kita tidak bisa melepas diri dari pembicaraan mengenai sejarah filsafat barat. Positivisme pertama kalinya dikenal dalam sejarah filsafat barat.
Fase zaman baru abad 17 dalam sejarah filsafat hukum pemikiran positivisme mulai dikenal, dan adalah Thomas Hobbes yang memulainya.
Ia menelorkan gagasan hukum alam yang banyak mengundang kontroversi. Ia menggunakan istilah hukum alamiah (law of nature) dan akal benar (right season)
Namun yang pertama baginya adalah kemerdekaan yang tiap orang miliki untuk menggunakan kekuasaan /kekuatannya sendiri menurut kehendaknya. Kedua adalah asas-asas kepentingannya sendiri yang sering didefinisikan sebagai kondisi alamiah dari manusia. Ketiga kondisi alamiah dari umat manusia adalah peperangan abadi yang didalamnya tidak ada standar perilaku yang bersifat umum.
Langkah yang krusial dari teori Hobbes adalah pengidentifikasian masyarakat dengan masyarakat yang terorganisasikan secara politik, dan keadilan dengan hukum poisitif.
Kaidah hukum adalah perintah dari penguasa, para anggota masyarakat mengevaluasi kebenaran dan keadilan dari perilaku mereka, dengan mereferensi perintah-perintah demikian. Namun Hobbes juga mengatakan walaupun penguasa tidak dapat melakukan suatu ketidakadilan, ia dapat saja melakukan suatu kelaliman.
Sementara positivisme dalam pengertian modern adalah suatu sistem filsafat yang mengakui hanya fakta2 positif dan fenomena2 yang bisa diobservasi. Dengan hubungan obyektif fakta-fakta hukum yang menentukannya, meninggalkan semua penyelidikan menjadi sebab-sebab atau asal-usul tertinggi.
Dengan kata lain, positifisme merupakan sebuah sikap ilmiah, menolak2 apriori dan berusaha membangun dirinya pada data pengalaman.
Teori-
Sarjana yang membahas secara komprehensif sistem positivisme hukum analitik adalah John Austin, seorang yuris Inggris.
Ia mendefiniskan hukum sebagai aturan yang ditentuka untuk membimbing mahluk berakal oleh mahluk berakal yang telah memiliki kekuatan untuk mengalahkannya. Sehingga karenanya hukum, yang dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya didasarkan pada ide-ide baik dan buru dilandaskan pada gagasan kekuasaan yang tertinggi.
Menurut Austin, ilmu yurisprudensi membicarakan hukum-hukum positif karena mempertimbangkan baik atau buruknya hukum-hukum itu.
Semua hukum positif berasal dari pembuat hukum yang sangat menentukan yang sangat berdaulat. Ia mendefinisikan penguasa sebagai seorang manusia superiori yang menentukan, bukan dalam kebiasaan ketaatan kepada seseorang yang seakan-akan superiori dan yang menerima kebiasaan ketaatan dari suatu masyarakat tertentu. Ia menjelaskan bahwa atasan itu mungkin seorang individu, sebuh lembaga atau sekumpulan individu. Penguasa tidak dengan sendirinya diikat oleh batasan hukum baik dipaksakan oleh prinisip-prinsip atasan atau oleh hukum-hukumnya sendiri.
Menurut Hart, hukum itu adalah perintah, tidak ada kebutuhan untuk menghubungkan hukum dengan moral. Hukum sebagaimana diundangkan harus dipisahkan dari huku yang seharusnya diciptakan atau yang diinginkan. Studi hukum tentang makna hukum adalah penting tetapi harus dibedakan dengan studi sejarah, sosiologis dalam makna moral, tujuan sosial dan fungsi sosial.
Sistem hukum adalah sistem tertutup, merupakan putusan-putusan yang tepat dari aturan sebelumnya, dan penghukuman secara moral tidak dapat lagi ditegakkan, melainkan harus dengan jalan arumen yang rasional/ pembuktian dengan alat bukti.
Pandangan Rousseau bahwa melalui kekompakan sosial kita memberikan eksistensi dan hidup dalam kerangka politik, serta sekarang dengan undang-undang kita membuatnya berkembang dan berkuasa. Karena tindakan original ketika rangka politik itu dibentuk dan tetap utuh menentukan apa yang seharusnya dia lakukan untuk mempertahankan keberadaannya (Du contract social)
Hukum-hukum itu dibuat semata-mata untuk kebaikan yang jahat dan keruntuhan yang adil. Karena itu konvensi dan hukum diperlukan untuk menyatukan hak dan kewajiban, serta mengarahkan keadilan kepada tujuannya.
Tidak dapat dibantah bahwa hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan.
Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih.
Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer.
Filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."
Kesimpulan
Kekuasaan hanya dimiliki oleh negara. Jaminan atau kepastian akan kebebasan warga adalah hak warga masyarakat. Dan harus dijamin dalam konteks, diakui bahwa itu ada secara tertulis
Dalam perkembangan, hak asasi manusia adalah rumusan2 yang lebih konseptual dan bahkan mungkin terinci.
Faktanya negara mempunyai kekuasaan yang sangat besar yang tidak dapat dibantah. Tanpa power atau kuasa tak ada sesuatu pun dapat dijalankan.Pentaatan itu adalah bagian dari kontrak sosial sebagaimana dikatakan Rousseau dalam konteks warga dan negaranya.
Rousseau adalah seorang calvinis, sangat terpengaruh oleh pemikiran Yohanes Calvin, seorang teolog Kristen Perancis terkemuka pada masa reformasi protestan.
Sementara, kebebasan adalah watak habitus yang ada pada semua manusia. Dalam kelompok kecil bahkan kelompok besar bernama warga negara. Negara yang mempunyai kekuasaan yang besar adalah ciri khas hukum positif
Karena sejatinya pembuat hukum adalah negara itu sendiri. Sementara warga adalah alternatif sumber dari pembuatan keputusan hukum negara
Kadang malah sebagai obyek belaka dari sebuah pengaturan. Ini agak susah dalam realitas. Nasion dan state itu penting. Bangsa sebagai spirit atau semangat bersama, sedangkan negara adalah pelaksana kehendak sang cita-cita
Konsep negara bangsa adalah sesuatu yang perlu. Kita tidak dapat membantah kehadiran negara
Disatu sisi kebebasan adalah hak warga. Disisi lain, individu memiliki kebebasannya sendiri, yang diinginkannya, yang dianggapnya sebagai hak yang harus diterima oleh karena diberikan bukan oleh negara tapi dari penciptanya
Warga kemudian menghendaki negara hanya sebagai penjaga malam. Dengan tugas pokok menyiapkan regulasi, berbagai macam pengaturan agar menghindari kebebasan mereka bersinggungan atau berbenturan dengan kebebasan pihak lain.
Jadi konsep pemerintah sebagai pemberi, pemilik perintah menjadi terlalu kaku. Maka muncul gagasan sebagai peubahan dari kekakuan menjadi lebih mengarah kepada konsep pengendalian dengan ciri fleksibilitas
Bisa diterapkan atau utopis? Dapatkah diterapkan? Ini bergantung pada tahap perkembangan hukum dalam suatu negara. Dalam sistem negara dengan model kesatuan atau sentralistik, mungkin ini dipilih sebagai salah satu cara mengendalikan warga.
Tetapi dalam negara dengan tradisi individual atau liberalisme yang kuat, model seperti ini akan mendapat banyak tantangan
Hukum yang demokratis sejatinya setiap proses tahapannya, seperti perancanagan, pembuatan, hingga penegakannya mtlak perlu membutuhkan dukungan warganya. Tanpa itu wibawa negara menjadi kurang karena hanya menekankan sisi kewajiban masyarakat tanpa memberi ruang untuk wilayah partisipasi publik yang luas.
Hukum yang baik sepatutnya diterima dalam konteks kesadaran akan kebutuhan hukum itu, dan bukan dalam konteks pemaksaan atas nama otoritas, negara, kekuasaan.