oleh Winner a. Siregar
pertama;
Orang selalu bicara momentum dan harapan. Semua kongres (baca: gmki) punya momentum dan harapannya sendiri. Kadang terlalu banyak agenda yang kita harus pikirkan hingga menghabiskan waktu memikirkannya tanpa sempat mengerjakannya dan momentumnya berlalu, begitu saja.
Tapi syukurlah kita hampir selalu mengaku ada di setiap momentum kebangsaan. Entah sebagai apa. Seumpama kongres ini, kita peserta, peninjau atau penggemar (bukan penggembira). Para peminat-peminat GMKI. Or something like that lah.
Mari juga berkaca dalam konteks daerah masing-masing. Sejauh mana keterlibatan kita dalam agenda-agenda kemasyarakatan. Apa merepresentasi keterlibatan kita di gereja, perguruan tinggi, dan masyarakat. Atau kita bergelut dengan yang rutin melulu. Tapi harapan itu yang menghidupkan bukan? Kita tidak sedang bicara berapa besar potensi sumber apa saja yang kita punya.
Momentum sejatinya memerlukan pra kondisi yang cukup. Dengan paham yang cukup kuat dan sadar tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi di sekelilingnya. Mari kita menguji, apakah kita semua punya pandangan penilaian yang sama tentang apa yang terjadi di gereja, PT dan masyarakat. Itu titik berangkatnya.
Kalau kita tidak punya pandangan yang sama, dalam membumikan gagasan-gagasan itu maka kita sedang menakar awan. Dalam teori Roscoe Pound seorang sosiolog, apakah anggaran dasar kita berikut produk turunannya, dan aneka keputusannya dan semua kalimat-kalimat indah dan sedap di baca serta ada kesan agung itu dapat menjalankan fungsinya sebagai a tool of a social engineering (jangan baca sebagai rekayasa, tetapi alat mengubah konstituen utamanya, mahasiswa). Mengubah perilaku, habitus utamanya. Menciptakan kulturnya sendiri yang beriman, ilmu, dan abdi itu.
Tinggi iman, ilmu dan pengabdian itu harus berkonteks. Seumpama hukum, bukan hanya bicara keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Yang adil itu harus bermanfaat dan pasti. Yang bermanfaat itu harus pasti dan adil, dan yang pasti itu harus adil dan bermanfaat. Perlu goreng-goreng dikitlah. Tapi menjadi tanya juga, di satu sisi kita mendorong perubahan-perubahan penting negeri ini, tapi apakah kita juga melakukan perubahan itu? Semisal menanya, apakah dengan model seperti kita saat ini memberi cukup ruang bagi tampilnya banyak kader tangguh di arasnya masing-masing. Atau yang sederhana, apa kita masih menjadi pilihan utama bagi para mahasiswa sebagai wadah kekaderan mereka.
Jika tidak, akhirnya kita mengulangi dan mengulangi aneka praktek yang terus berulang dari kongres ke kongres sampai yang paling mendasar sekalipun, pengorganisiran d tingkat cabang. Momentum ini bisa jadi sekadar ritual organisasi semata, dengan aneka romantisme dan dinamikanya. Mari kita berevaluasi bersama dan mengerjakan secara elegan.
Maka logikanya menjadi, pengurus pusat lemah (kalau boleh dianggap begitu) karena pengurus cabang lemah, pengurus cabang lemah karena pengurus komisariat lemah atau model pengorganisiran lain. Momentum Makassar ini menjadi ujian bersama kita, apakah kita sangat menikmati masalah-masalah intern kita diketahui seluruh dunia atau memberi waktu dan tempat yang lebih luas bagi aneka persoalan yang terjadi di sekeliling kita. Atau kita menjadi sibuk dengan diri kita sendiri.
Di pit stop Makassar ini, kalau boleh berumpama begitu, mari kita berolah gagas gugus itu dengan santun nan cerdas. Berfikir dan mengkontekskan dengan realitas. Gagasan yang tidak sekadar awang-awang, tapi sebagai awan yang cukup tebal untuk menjadi hujan.
Jangan dulu kita bicara out put. Ini soal yang lain. Maka sinergi itu penting menciptakan pra kondisi. Kalau perdebatan kita masih sekitar yang remah-remah itu, sesungguhnya kita tidak beranjak melangkah.
Agar momentumnya tidak berakhir menjadi lagu, kau datang dan pergi sesuka hatimu..
kedua;
Masih tentang kongres, sekali lagi
Sekali lagi, kita disuguhkan laporan
Entah bagaimana kita membacanya. Tapi jangan membaca itu sebagai laporan mereka, tapi laporan kita bersama. Tentulah ada pihak yang menanggung dan menjawabinya.
Apapun itu ada unsur salah dan kebersalahan. Tapi tak tepat pula mengaggap ini semata diantara kita dan mereka
Banyak pertanyaan tak terjawab tuntas dan terus berulang bukan karena tak mengertian. Tapi lebih karena telinga tak mampu mendegarnya dan memerintah otak memprosesnya dan lalu tangan dan kaki mengerjakannya
Banyak masalah tak terselesai bukan karena tak mampu mengerjakannya dengan tuntas, tapi lebih karena tidak dianggapnya itu sebagai masalah.
Lalu hendak kamu kemanakan semua remeh temeh itu, membiarkannya saja lalu menghalaunya sebagai keadaan biasa semata
makassar nov 2010, kongres gmki..