Jumat, 15 April 2011

Kedaulatan Rakyat dan Keuangan Negara;


oleh: Winner A. Siregar
PENDAHULUAN
Membahas masalah keuangan negara mestilah dilatar-belakangi oleh suatu konsepsi alur pikir yang jelas secara konseptual untuk memberikan gambar utuh berbagai dimensinya.
Keuangan negara adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan suatu negara. Sedemikian pentingnya sehingga terdapat pengaturan yang jelas soal ini. Pengaturan ini dapat ditelusuri mulai dari konstitusi kita dan berbagai produk hukum yang merupakan turunan dari undang-undang dasar.
Makalah ini mencoba untuk menjelaskan bagaimana keterkaitan antara kedaulatan rakyat dengan keuangan negara. Penjelasan diberikan dengan menghubungkannya dengan faktor-faktor lain/ aspek utama lainnya, yakni negara, wewenang, penegakan hukum dan perlindungan hukum.
Ini menjadi penting manakala kita menyadari betapa vital dan strategisnya keuangan negara bagi suatu negara. Tanpa keuangan negara maka pasti akan terjadi kesulitan bagaimana negara itu mencapai tujuan nasionalnya atau cita-cita kedirian mereka.
Disisi lain ketidakmampuan keuangan negara juga menyebabkan sebuah negara menggantungkan diri dari sumber-sumber pembiayaan lain diluar negaranya, seperti bantuan luar negeri. Ini menjadi maslah tersendiri jika dikaitkan betapa kemungkinan dekatnya pengaruh keuangan negara dengan kedaulatan suatu bangsa atau negara menjalankan fungsinya termasuk dalam pergaulan antar bangsa.
Keuangan negara dengan demikian menjadi aspek penting yang menentukan apakah negara tersebut dapat mencapai tujuan-tujuan nasionalnya. Tema kemandirian suatu bangsa kemudian menjadi penting dan hangat. Kemandirian berarti kemampuan suatu bangsa untuk membiayai penyelenggaraan negaranya.
Negara kemudian mencari terobosan untuk membangun kemampuan sumber dayanya dalam membiayai keuangan negaranya. Dalam konteks Indonesia misalnya melahirkan ketentuan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP.
Yang menjadi fokus dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana keterkaitan antara Kedaulatan Rakyat dengan Negara, Kewenangan, Penegakan Hukum, dan Perlindungan Hukum. Penjelasan dilakukan dengan menghubungkan teori yang ada dan menghubungkannya dalam kerangka keuangan negara.
P E M B A H A S A N
A.                 KEDAULATAN RAKYAT
Kedaulatan rakyat adalah titik tolaknya atau dasarnya. Tanpa ada kedaulatan rakyat yang menyatukan diri mereka atau merumuskan diri mereka dalam pernyataan bersama tentang kemerdekaan atau melalui konstitusi maka sebuah negara tidak akan pernah ada. Teori kedaulatan rakyat adalah salah satu teori paling klasik tentang asal-usul lahirnya negara.
Sifat khusus pada suatu negara yang membedakannya dengan semua unit perkumpulan lainnya adalah negara memiliki kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan undang-undang dengan segala cara maupun paksaan yang diperlukan, kekuasaan seperti ini disebut kedaulatan (sovereignty)[1].
Secara internal, istilah ini bermakna supremasi seseorang atau sekumpulan orang di dalam negara atas individu-individu atau perkumpulan individu dalam wilayah yurisdiksinya. Sedangkan secara eksternal, berarti independensi mutlak satu negara sebagai suatu keseluruhan dalam hubungannya dengan negara-negara lainnya[2] .
Menurut John Locke, kekuasaan tertinggi, yaitu kedaulatan tetap menjadi milik rakyat. Negara absolut dan penggunaan kekuasaan yang semau-maunya tidak sesuai dengan tujuan masyarakat.[3]  Pada saat yang sama, pembentukan negara tidak berarti pengalihan semua hak warga negara kepada negara. Hak membuat undang-undang, yakni hak legislatif atau hak eksekutif  dan pelaksanaannya, diserahkan kepada negara, tetapi seluruh proses harus didasarkan pada syarat yang harus dipenuhi negara, yaitu kelangsungan hak hidup, hak kebebasan dan hak milik.[4]
Secara etimologi, kata kedaulatan berarti superioritas belaka, tetapi ketika diterapkan pada negara, kata tersebut berarti superioritas dalam arti khusus –dengan kata lain, superioritas seperti ini adalah superioritas yang mengisyaratkan adanya kekuasaan untuk membuat hukum (law-issuing power).
Jika membahas tentang keuangan negara maka ujung tombaknya adalah pada Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang.
Filosofi dari semua ini dalam konteks Indonesia adalah sebagaimana dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945; yakni membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
B.                  NEGARA
Negara adalah  produk dari kedaulatan rakyat. Tanpa kedaulatan rakyat maka tidak akan lahir kumpulan rakyat yang berdaulat dalam negara. Kelahiran negara itu karena pernyataan akan eksistensi negara kedaulatan itu.
Negara bukan sekedar sekumpulan keluarga belaka, atau suatu persatuan organisasi profesi, atau penengah diantara kepentingan-kepentingan saling bertentangan perkumpulan sukarela yang diizinkan keberadaannya oleh negara.[5]
Dalam suatu komunitas politik yang diorganisir secara tepat, keberadaan negara adalah untuk masyarakat dan bukan masyarakat yang ada untuk negara. Akan tetapi, betapapun majunya rakyat secara sosial, masyarakat yang menyusunnya –terdiri dari keluarga, klub, perkumpulan, serikat dagang, dan lain-lain- tidak menjamin dapat menyelenggarkan urusannya sendiri tanpa adanya kekuasaan arbitase tertinggi.[6]
Jika merujuk pandangan Locke, apabila sejumlah orang telah membentuk suatu masyarakat, dengan kesepakatan tiap-tiap individu, mereka dengan demikian membuat masyarakat itu menjadi satu badan, dengan kekuasaan untuk bertindak sebagai satu badan, yang terjadi oleh kehendak dan ketetapan mayoritas.[7]
Apa yang membuat masyarakat manapun ada hanyalah kesepakatan individu-individu di dalamnya, dan karena masyarakat itu merupakan satu badan, maka harus bergerak satu arah (satu jalan), dan dengan demikian perlulah badan itu bergerak ke arah mana kekuatan yang lebih besar membawanya.[8]
Dalam konteks Indonesia, lahirnya negara berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang kemudian disusul dengan penetapan Undang-undang Dasar 1945 sebagai fundamen atau dasar bagi berlangsungnya negara bangsa atau nation state Indonesia. Ini menjelaskan bahwa negara tak dapat ada tanpa masyarakat yang merumuskan kedaulatannya. Perumusan makna kehadiran negara ini tercermin dari Pembukaan Undang-undang Dasar sebagai filosofi lahirnya suatu negara Indonesia.
Maka jika kita membahas negara dan dasar-dasar yang sah tentang keuangan negara dapat dirunut lebih jauh dalam konstitusi kita, tempat dimana kita menemukan landasan fundamental. Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain itu dalam Pasal 23 A Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Pasal lain yang mengatur adalah  dalam Pasal 23 C: Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang. Ini adalah sejumlah pasal yang diatur dalam konstitusi kita yang memberi tempat bagi negara mendapat kewenangan.
C.                  KEWENANGAN
Kewenangan itu berasal dari negara yang dengannya memberi kewenangan melalui aparatnya untuk bertindak dan mengelola keuangan negara.
Dalam prakteknya dan secara umum dapat dikatakan bahwa sumber-sumber kewenangan terdiri atas :
1.                  ATRIBUSI, yaitu Pemberian kewenangan pada badan atau lembaga/ pejabat negara tertentu baik oleh pembentuk Undang Undang Dasar maupun pembentuk Undang Undang. Sebagai contoh : Atribusi kekuasaan Presiden dan DPR untuk membentuk Undang Undang.
2.                  DELEGASI, yaitu Penyerahan atau Pelimpahan kewenangan dari badan /lembaga pejabat tata usaha negara kepada Badan atau Lembaga pejabat tata usaha negara lain dengan konsekwensi tanggung jawab beralih pada penerima delegasi. Sebagai contoh : Pelaksanaan persetujuan DPRD tentang pengajuan calon wakil kepala daerah.
3.                  MANDAT, yaitu Pelimpahan kewenangan dengan tanggung jawab masih dipegang oleh sipemberi mandat. Sebagai contoh : tanggung jawab membuat keputusan-keputusan oleh menteri dimandatkan kepada bawahannya.
Ketiga hal tersebut adalah bagaimana kewenangan dapat dijalankan dengan aneka variasi maupun modelnya. Dihubungkan dengan teori tersebut diatas maka nampaklah bahwa kewenangan yang diberikan adalah terutama yang bersifat atribusi, yakni apa yang diberikan sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Ketentuan pertama sebagai tindak lanjut dalam konstitusi kita yang memberi wewenang atribusi tentang keuangan negara diatur dalam Undang-undang No. 17/ 2003 tentang Keuangan Negara yang menjelaskan bahwa definisi Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Jika secara lanjut membahas tentang kewenangan pengelolaan keuangan negara, maka Presiden memegang kewenangan tertinggi pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan negara. Pengelolaan keuangan negara yang berada dalam kewenangan Presiden meliputi kewenangan secara umum dan kewenangan secara khusus.[9]
Sementara itu kewenangan khusus di bidang pengelolaan keuangan negara didelegasikan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut kepada menteri, lembaga pemerintah non departemen, dan lembaga negara berdasarkan kebutuhan masing-masing.[10]
Jika kita mencermati lebih lanjut dalam undang-undang keuangan negara, sebagaimana dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi:
1. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
2. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
3. Penerimaan Negara;
4. Pengeluaran Negara;
5. Penerimaan Daerah;
6. Pengeluaran Daerah;
7. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
8. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
9. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
D.                 PENEGAKAN HUKUM
Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subyek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan, atau keharusan ataupun kebolehan.[11]
Hukum negara adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Karena itu dapat dikatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga macam keputusan yang mengikat secara hukum bagi subyek-subyek hukum yang terkait dengan keputusan itu.[12]
Jika kita membahas tentang hukum dan sistem hukum, maka didalamnya senantiasa terdapat tiga komponen, yakni struktur, substansi dan kultur. Strukutr yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya. Substansi yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Sedangkan kultur hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan) kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.[13]
Penegakan hukum dengan demikian menjadi salah satu unsur penting yang harus terus berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. Penegakan hukum itu dengan cara atau metode yang tepat sehingga meminimalisir potensi kecurangan dalam pengelolaannya.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Bagaimana hukumya itulah yang harus berlaku yang pada dasarnya tidak boleh menyimpang.[14]
Dalam bahasa Indonesia dikenal beberapa istilah diluar penegakan hukum tersebut, seperti penerapan hukum. Tetapi tampaknya istilah penegakan hukum adalah yang paling sering digunakan dan dengan demikian pada waktu-waktu mendatang istilah tersebut akan makin mapan atau merupakan istilah yang dijadikan (coined).[15]
Dalam struktur kenegaraan modern, maka tugas penegakan hukum itu dijalankan oleh komponen eksekutif dan dilaksanakan oleh birokrasi dari eksekutif tersebut, sehingga sering disebut juga birokrasi penegakan hukum. Sejak negara itu mencampuri banyak bidang kegiatan dan pelayanan dalam masyarakat, maka memang  campur tangan hukum juga makin intensif, seperti dalam bidang-bidang kesehatan, perumahan, produksi, dan pendidikan. Tipe negara yang demikian itu dikenal sebagai welfare state. Eksekutif dengan birokrasinya merupakan bagian dari mata rantai untuk mewujudkan rencana yang tercantum dalam peraturan hukum yang menangani bidang-bidang tersebut.[16]
Jika dihubungkan dengan teori tersebut diatas, maka dapat dijelaskan betapa Undang-undang Keuangan Negara juga dalam perspektif demikian. Hal ini misalnya dapat ditelusuri dari Dasar Pemikiran lahirnya UU ini misalnya dikemukakan bahwa; Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang.
Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan, antara lain disebutkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara serta macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Hal-hal lain mengenai keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23C diatur dengan undang-undang. Pasal UUD ini menjadi dasar bagi lahirnya satu undang-undang tersendiri tentang keuangan negara.
E.                  PERLINDUNGAN HUKUM
Perlindungan hukum harus berjalan beriring dengan penegakan hukum. Penegakan hukum yang baik pada saat yang sama semestinya menjadi tolok ukur dalam perlindungan hukum.
Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif atau pencegahan maupun yang bersifat represif atau penindakan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.
Perlindungan hukum yang dimaksud dalam konteks ini adalah terjaminnya hak-hak konstitusional yang sah dari warga negara secara khusus dalam konteks keuangan negara.
Dalam hal keuangan negara juga telah secara jelas memberi tempat bagi perlindungan hukum subyek keuangan negara yakni rakyat. Hal ini bahkan secara awal melalui penegasan adanya satu aspek penting lain dalam pengelolaan keuangan negara yakni adalah badan/ lembaga dengan fungsi utama dalam pengawasan pengeloaan keuangan negara.
Di konstitusi kita telah mengatur demikian yang disebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 23E - pasal 23G Undang-undang Dasar. Sebagaimana dalam pasal 23E bahwa: untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Hal ini menegaskan bahwa ketentuan ini sedari awal menunjukkan unsur transparansi dalam pengelolaannya.
Unsur pertanggung jawaban atau keterbukaan dalam pengelolaan keuangan sedari awal diatur pula dalam konstitusi kita sebagaimana dalam    Pasal 23E yang menyatakan: untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan satu badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
Dalam konsideran menimbang dari Undang-undang No. 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dinyatakan bahwa keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam konsideran yang sama dinyatakan pula bahwa untuk tercapainya tujuan negara sebagaimana dimaksud, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pada Pasal 6 ayat (1) tentang tugas dan wewenang dinyatakan bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Sementara pada ayat (2) dinyatakan bahwa Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dan ayat (3) menyatakan bahwa Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
P E N U T U P
Dalam membicarakan hukum keuangan negara, tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan hukum keuangan negara dimulai tatkala negara telah berupaya mencampuri urusan/kepentingan warganya. Pada saat itu negara memiliki tipe yang membedakan dengan negara klasik yang disebut sebagai negara kesejahteraan modern (welfare state modern)[17]
Pencapaian tujuan negara selalu terkait dengan keuangan negara sebagai bentuk pembiayaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Tanpa keuangan negara, tujuan negara tidak dapat terselenggara sehingga hanya berupa cita-cita hukum belaka. Untuk mendapatkan keuangan negara sebagai bentuk pembiayaan tujuan negara, harus tetap berada dalam bingkai hukum yang diperkenankan oleh Undang-undang Dasar 1945.[18]
Pengertian dan aspek dalam keuangan negara sangat luas cakupannya baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.  Dapat terlihat betapa penting dan strategisnya keuangan negara sebagai sumber energi bagi suatu negara untuk mencapai tujuan nasionalnya. Sedemikian pentingnya kedudukan dan keberadaannya sehingga sedari awal telah mendapat pengaturan yang layak dan semestinya dari konstitusi atau undang-undang dasar kita, baik secara filosofis melalui pembukaannya maupun dalam pasal-pasal dalam konstitusi.
Dengan demikian jelaslah bagaimana pentingnya keuangan negara dalam suatu negara bangsa termasuk Indonesia. Kedaulatan rakyat yang mewujud melalui negara yang kemudian menghadirkan kewenangan dan memberi mandat penegakan hukum dan perlindungan hukum tidak semata-mata dalam kerangka mengupayakan sebagai sumber energi bagi negara tetapi pada saat yang sama telah sedari awal memikirkan bagaimana aspek-aspek lainnya pada saat yang sama dapat terbangun, seperti pengelolaan, penggunaan dan pengawasannya, yang niscaya jika sistem ini tidak terbangun dengan baik mencederai kedaulatan rakyat sebagai sumber dari lahirnya pranata bernama negara dan segala kewenangannya.
Kedaulatan rakyat atau kehendak rakyat karena rakyat bercita-cita. Cita-cita itu berwujud negara. Ketika diproklamasikan, negara dimaksud belumlah negara hukum. Ketika UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, barulah dapat dikatakan sebagai negara hukum yang berisi tentang fungsi negara dan cita-cita menuju negara modern. Sampai saat ini masih cita-cita itu masih terus menjadi cita-cita karena tidak ada energi atau keuangan. Negara akhirnya mengandalkan pendapatan dari luar negeri berupa pinjaman atau utang luar negeri, karena energi atau keuangan tidak ada.
Barulah pada tahun 1983 ada kesadaran untuk menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara dengan lahirnya berbagai ketentuan sebagai dasar berlakunya. Ini menjadi dasar adanya wewenang negara untuk bertindak dalam soal keuangan negara. Kewenangan dimaksud adalah dasar bagaimana mengelola keuangan negara. Kewenangan itu diperoleh dengan cara atribusi, delegasi maupun mandat.
Kedaulatan rakyat adalah sumbernya. Yang memerlukan energi. Pengelolaan keuangan negara berdasar dari kedaulatan rakyat sehingga negara wajib membiayainya. Kewenangan dalam prakteknya kadang sesuai dengan hukum dan kadang pula menyimpang. Maka memerlukan penegakan hukum. Perlindungan hukum bagi rakyat, karena rakyatlah yang membiayai keuangan negaranya.


[1]  Llihat C.F Strong 1966 dalam Modern Political Constitutions- terjemahan, hlm 8.

[2] Llihat C.F Strong 1966 dalam Modern Political Constitutions- terjemahan, hlm 8.
[3] Lihat John Locke dalam Two Treaties od Civil Government 1924- terjemahan Jakarta tahun 2002, hlm 12.
[4] Ibid hlm 12

[5] Lihat C.F Strong 1966 dalam Konstitusi-konstitusi Politik Modern-terjemahan, hlm 6.
[6] Ibid, hlm 6.
[7] Lihat John Locke dalam Two Treaties od Civil Government 1924- terjemahan Jakarta tahun 2002, hlm 82.
[8] Ibid, hlm 83.

[9] Lihat Muhammad Djafar Saidi: 2008 dalam Hukum Keuangan Negara, hlm 41.
[10] Ibid, hlm 41
[11] Lihat Jimly Asshiddiqie, 2010 dalam Perihal Undang-undang hlm 7
[12] Ibid hlm 7.
[13] Lihat Lawrence M. Friedman 1975 dalam Achmad Ali 2009: hlm 204
[14] Llihat Sudikno Mertokusumo, 1991 dalam Mengenal Hukum –suatu pengantar, hlm 134.
[15] Ibid, hlm 134.
[16] Lihat Satjipto Rahardjo, 1991 dalam Ilmu Hukum, hlm 181

[17] Lihat Muhammad Djafar Saidi: 2008 dalam Hukum Keuangan Negara, hlm 2.
[18] Lihat Muhammad Djafar Saidi: 2008 dalam Hukum Keuangan Negara, hlm 2.

Jumat, 18 Maret 2011

Senja yang Merah


oleh Winner a. Siregar

Senja ini merah tak terkira
Matahari seharusnya telah masuk ke peraduannya
Kamu kenapa kataku

Apa ini ungkapan dukamu
Tentang seorang tua yang pergi kemarin
Tentang orang-orang jepang, tokyo mungkin
Tentang perilaku kah

Terlalu sentimentil pesan ini kataku
Kadang klise rasanya
Tapi tetap menagisinya
Tak berdaya
Knock out
Betapa dada ini sesak

Disudut lain kamu menemuiku
Menagihku karena janji
Bukankah kita telah setuju untuk saling menemui
Gugatmu

Ya...
dan bicara tentang indonesia lagi
yang kita semua berada disimpangnya
tapi saat ini aku tidak membutuhkannya

lagi lelah batinku ini
mengurai terlalu banyak hal didiriku
dan tidak mampu mengendalikannya
sama sekali tidak membantuku kedatanganmu

Senja pun gelap lagi
Seakan menegaskan misterinya sendiri
Aku tepekur di pojok ini

Tamalanrea suatu sore, 11-3-2011

Suatu saat tentang hidup

oleh Winner a. Siregar


Suara-suaramu meyakinkanku
-kadang menggangguku malah
tarian-tarianmu menyiratkan  duka
pikiran-pikiranmu menjadi tak menentu
apakah kamu merasa ini telah menjadi waktumu
disuatu saat yang tak beriring

kamu pasti bercerita dengan bangga
tentang masa yang gemilang dalam pikirmu
bersama orang-orang tercinta
yang dengannya kamu berbagi hidup

kami semua mengakuinya
bukan karena kemewahan yang kamu sajikan
bukan karena upayamu, kerja kerasmu
tapi karena bagaimana kamu mengisinya dan membaginya dengan ketulusan

kami tak pernah sangsi soal itu
betapa wajah itu selalu menyiratkan ketulusan dan kebahagiaannya
memberi semangat untuk terus berjuang
tak pernah kuatir tentang apapun
bahkan keketika kamu terserang sesuatu
yang mungkin saja jadi kematianmu

kamu masih memendam dan belum mencapai cita-citamu pikirku
itu yang terus menyemangatimu
sampai suatu saat kelak ketika citamu jadi nyata
saya terheran dengan semangatmu yang luar biasa
aku dimana saat itu..

Selasa, 08 Maret 2011

Manajemen konflik, Catatan pengantar -tanpa edit


oleh winner a. siregar

Tujuan; mengetahui penyebab, pengembangan, cara mengatasi
Ini dadakan, jadi serba minim.
Tapi terima kasih.
Ketika ditawarin ini bergembira juga, karena ada kesempatan share berbagai pengalaman. Soal konflik.
Skripsi saya meneliti konflik aceh semasa DOM 1989-1998, saya pernah tinggal di daerah konflik papua selama 2 tahun, dan menyaksikan praktek konflik dan kekerasan yang menyertainya, dan selama satu bulan belajar konflik internasional di amman, jordania. Belajar konflik israel-palestina, konflik negara2 berbatasan di timur tengah. Jadi wawasan saya cukuplah untuk bicara ini.
Konflik ada di semua level; dari paling kecil konflik pribadi, keluarga, masyarakat,gereja,  negara, bahkan internasional. Jadi orang dan organisasi punya potensi untuk konflik.
Di tingkat internasional antar bangsa2. Di tingkat negara, ada konflik horizontal sesama warga masyarakat, atau konflik vertikal, antar negara dengan warga masyarakat.
Konflik juga penyebab kemiskinan yang paling utama, seperti karena perang, dsb
Tapi baiklah kita bicara yang paling sederhana soal ini.
Konflik pribadi dapat dikatakan sebagai pilihan2 dilematis dalam diri masing2. Misalnya, soal rencana hidup, pilihan2 kerja, sikap dengan saudara2, keluarga, orang tua, dst
Kenapa muncul? Karena sifat personal masing2 ada. Ada yg peragu, trauma, takut masa lalu, dst. Tapi yang paling utama penyebabnya adalah kekurangan informasi tentang keputusan yang hendak diambil. Ibarat buah simalakama.
Tetapi jika kita berkonflik dengan orang lain, selain karena informasi yang kurang, tidak seimbang, tidak akurat, dst. Tapi kekurangan informasi itu bukan faktor utama, yang paling utama adalah karena adanya perbedaan kepentingan. Ini dalam soal konflik pribadi dengan  orang lain.
Bagaimana sikap kita dalam konflik?
Maisng2 orang berbeda cara kita menyikapi konflik. Ada yang memilih menyampaikan dengan orang lain yg punya hubungan pribadi dengannya, dengan tujuan agar si teman curhat ini menyampaikan kepada yang bersangkutan. Ini sikap yg gak gentle sebenarnya, karena bisa jadi menambah ribet persoalan.
Ada yang lain memilih sikap yang gentle, mengajak teman yg bersangkutan untuk bertemu scr personal dan mendiskusikan bersama cara menyelesaikan. Ini namanya cara tepat utk menyelesaikan konflik.
Mari kita bicara level lain, misalnya dalam PMK, mengetahui potensi konflik apa yang mungkin muncul.
Bagaimana kita mengetahui itu potensi atau tidak? Kita perlu alat ukur. Alat ukur itu bernama tujuan organisasi. Apa tujuan pmk, visix apa/misix apa? Apa yang perlu sebagai alat pendukung tujuan itu? Yg pertama, anggota, pengurus, penyokong, program,  Dst.
Dmn konfliknya? Anggota tdk menunjukkan peran serta, pengurus tdk jalankan tujuan, dst. Karena itu tdk berjalan dgn baik maka terjadi konflik dlm organisasi, tdk berjalan sesuai tujuan, program gak jalan, menjadi ketidak pedulian, dst.
Ini cm sharing, yg paling sederhana. Kita bisa diskusi lebih lanjut.
-malino suatu waktu yg sejuk..

Di momentum pit stop Makassar


oleh Winner a. Siregar

pertama;
Orang selalu bicara momentum dan harapan. Semua kongres (baca: gmki) punya momentum dan harapannya sendiri. Kadang terlalu banyak agenda yang kita harus pikirkan hingga menghabiskan waktu memikirkannya tanpa sempat mengerjakannya dan momentumnya berlalu, begitu saja.
Tapi syukurlah kita hampir selalu mengaku ada di setiap momentum kebangsaan. Entah sebagai apa. Seumpama kongres ini, kita peserta, peninjau atau penggemar (bukan penggembira). Para peminat-peminat GMKI. Or something like that lah.
Mari juga berkaca dalam konteks daerah masing-masing. Sejauh mana keterlibatan kita dalam agenda-agenda kemasyarakatan. Apa merepresentasi keterlibatan kita di gereja, perguruan tinggi, dan masyarakat. Atau kita bergelut dengan yang rutin melulu. Tapi harapan itu yang menghidupkan bukan? Kita tidak sedang bicara berapa besar potensi sumber apa saja yang kita punya.
Momentum sejatinya memerlukan pra kondisi yang cukup. Dengan paham yang cukup kuat dan sadar tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi di sekelilingnya. Mari kita menguji, apakah kita semua punya pandangan penilaian yang sama  tentang apa yang terjadi di gereja, PT dan masyarakat. Itu titik berangkatnya.
Kalau kita tidak punya pandangan yang sama, dalam membumikan gagasan-gagasan itu maka kita sedang menakar awan. Dalam teori Roscoe Pound seorang sosiolog, apakah anggaran dasar kita berikut produk turunannya, dan aneka keputusannya dan semua kalimat-kalimat indah dan sedap di baca serta ada kesan agung itu dapat menjalankan fungsinya sebagai a tool of a social engineering (jangan baca sebagai rekayasa, tetapi alat mengubah konstituen utamanya, mahasiswa). Mengubah perilaku, habitus utamanya. Menciptakan kulturnya sendiri yang beriman, ilmu, dan abdi itu.
Tinggi iman, ilmu dan pengabdian itu harus berkonteks. Seumpama hukum, bukan hanya bicara keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Yang adil itu harus bermanfaat dan pasti. Yang bermanfaat itu harus pasti dan adil, dan yang pasti itu harus adil dan bermanfaat. Perlu goreng-goreng dikitlah. Tapi menjadi tanya juga, di satu sisi kita mendorong perubahan-perubahan penting negeri ini, tapi apakah kita juga melakukan perubahan itu? Semisal menanya, apakah dengan model seperti kita saat ini memberi cukup ruang bagi tampilnya banyak kader tangguh di arasnya masing-masing. Atau yang sederhana, apa kita masih menjadi pilihan utama bagi para mahasiswa sebagai wadah kekaderan mereka.
Jika tidak, akhirnya kita mengulangi dan mengulangi aneka praktek yang terus berulang dari kongres ke kongres sampai yang paling mendasar sekalipun, pengorganisiran d tingkat cabang. Momentum ini bisa jadi sekadar ritual organisasi semata, dengan aneka romantisme dan dinamikanya. Mari kita berevaluasi bersama dan mengerjakan secara elegan.
Maka logikanya menjadi, pengurus pusat lemah (kalau boleh dianggap begitu) karena pengurus cabang lemah, pengurus cabang lemah karena pengurus komisariat lemah atau model pengorganisiran lain. Momentum Makassar ini menjadi ujian bersama kita, apakah kita sangat menikmati masalah-masalah intern kita diketahui seluruh dunia atau memberi waktu dan tempat yang lebih luas bagi aneka persoalan yang terjadi di sekeliling kita. Atau kita menjadi sibuk dengan diri kita sendiri.
Di pit stop Makassar ini, kalau boleh berumpama begitu, mari kita berolah gagas gugus itu dengan santun nan cerdas. Berfikir dan mengkontekskan dengan realitas. Gagasan yang tidak sekadar awang-awang, tapi sebagai awan yang cukup tebal untuk menjadi hujan.
Jangan dulu kita bicara out put. Ini soal yang lain. Maka sinergi itu penting menciptakan pra kondisi. Kalau perdebatan kita masih sekitar yang remah-remah itu, sesungguhnya kita tidak beranjak melangkah.
Agar momentumnya tidak berakhir menjadi lagu, kau datang dan pergi sesuka hatimu.. 

kedua;
Masih tentang kongres, sekali lagi
Sekali lagi, kita disuguhkan laporan
Entah bagaimana kita membacanya. Tapi jangan membaca itu sebagai laporan mereka, tapi laporan kita bersama. Tentulah ada pihak yang menanggung dan menjawabinya.
Apapun itu ada unsur salah dan kebersalahan. Tapi tak tepat pula mengaggap ini semata diantara kita dan mereka
Banyak pertanyaan tak terjawab tuntas dan terus berulang bukan karena tak mengertian. Tapi lebih karena telinga tak mampu mendegarnya dan memerintah otak memprosesnya dan lalu tangan dan kaki mengerjakannya
Banyak masalah tak terselesai bukan karena tak mampu mengerjakannya dengan tuntas, tapi lebih karena tidak dianggapnya itu sebagai masalah.
Lalu hendak kamu kemanakan semua remeh temeh itu, membiarkannya saja lalu menghalaunya sebagai keadaan biasa semata

makassar nov 2010, kongres gmki..

Senin, 07 Maret 2011

Ortu dan Ormu bersidang

by Winner a. Siregar

satu yang menjadi perhatian saya adalah dinamika orang tua dan orang muda bila bersidang dalam formal organisasi.
orang muda biasanya berusaha paling menunjukkan kemampuan olah pikir dan kuasa mereka dalam perumusan kriteria2 untuk menduduki suatu jabatan tertentu, kendati dalam persidangan gerejawi sekalipun.
alasannya, mereka menganggap diri mereka paling bisa, paling layak, paling mampu.
pointnya paling merasa bisa..

nah, bagaimana pula para orang tua, kaum tua, para senior itu?
rupanya perdebatan kriteria tidak menjadi begitu penting bagi mereka.
tapi sebaliknya, perumusan pesan, pernyataan bersama lah yang paling menonjol.
meskipun mereka yang berada dalam komisi pesan itu adalah mereka yang tergolong senior dalam pengalaman, edukasi mungkin saja, dan perspektif yang lebih beragam.
apa soalnya?
mereka berlomba menjadi yang paling berhikmat..

akh, satu ironi lain..

Dogmatika Hukum- Teori Hukum- Filsafat Hukum



DOGMATIK HUKUM
Dogmatik Hukum memiliki konotasi pejoratif dengan Ajaran hukum (rechtsleer) atau Kemahiran hukum (rechtskunde) yang merupakan cabang dari ilmu hukum yang berkenaan dengan obyek-obyek (pokok-pokok pengaturan) dari hukum, bahkan lebih luas yg berkenaan dengan tata hukum (rechtsbestel) secara keseluruhan. Dogmatik hukum mengumpulkan dan menelaah pokok-pokok pengaturan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasan tunggal tentang pokok telaah  yang diteliti.
Kegunaan dari dogmatik hukum adalah upaya menemukan dan mengumpulkan bahan empirikal sampai ke sudut-sudut terjauh dari hukum, yaitu dengan cara penataan dan pengolahan secara sistematikal, dengan menampilkan gambaran secara menyeluruh terikhtisar dan kejernihan dari apa yang tampaknya merupakan suatu kesemerawutan dari pengumpulan bahan yang belum lengkap atau tercerai berai. Maka Dogmatik hukum mempresentasikan secara global dan terpadu (sintetikal) tingkat keadaan hukum, sehingga para juris akan merujuk kepadanya, begitu pembacaan biasa atas undang-undang tidak lagi cukup untuk penyelesaian masalah-masalah yang di hadapi.
Objek kajian dogmatik hukum adalah menggali sumber-sumber hukum formal dalam arti luas yakni perundang-undangan, putusan pengadilan, traktat-traktat, asas-asas hukum, kebiasaan, dan memandang hukum secara terisolasi seolah-olah tercabut dari sumber kehidupannya yang sesungguhnya. Dogmatik hukum pada dasarnya melihat hukum sebagai  sebuah kemandirian murni dengan suatu daya hidup (levenskracht) sendiri terlepas dari peristiwa-peristiwa kemasyarakatan. Instrumen kerjanya adalah sistematisasi berdasarkan kaidah – kaidah logikal.
Jadi Dogmatik Hukum (rechtsdogmatiek) atau ajaran hukum (rechtsleer) yaitu dalam arti sempit, bertujuan untuk memaparkan, mensistematisasi juga menjelaskan (verklaren) hukum positif yang berlaku (vigerende positiefrecht). Walaupun demikian, Dogmatik  Hukum bukanlah ilmu netral yang bebas nilai. Tidak karena hukum itu saling terkait antara nilai-nilai dan kaidah–kaidah. Bukankah dalam asasnya sangat mungkin memaparkan nilai–nilai dan kaidah–kaidah sebagai ketentuan–ketentuan faktual secara sepenuhnya netral dan objektif, melainkan secara sadar mengambil sikap berkenan dengan butir-butir yang di diperdebatkan. Sehingga orang tidak hanya mengatakan bagaimana hukum dapat di interpretasikan melainkan juga bagaimana hukum harus diinterpretasikan.
Dogmatik Hukum memaparkan dan mensistematisasi hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari suatu sudut pandang normatif. Sudut pandang normatif ini dapat berupa yuridik internal maupun ekstra yuridik. Bahwa sebuah pasal undang–undang tertentu harus dipandang sudah dihapuskan secara diam–diam karena ia bertentangan dengan ketentuan dalam sebuah undang–undang yang lebih baru, berdasarkan asas hukum yang umum bahwa undang–undang yang baru harus selalu didahulukan ketimbang undang–undang yang lama (lex posterior derogat legi priori).
Jadi Dogmatik Hukum  mempelajari aturan–aturan hukum itu sendiri dari suatu sudut pandang atau pendekatan teknikal. Dogmatik Hukum bertujuan untuk atau memberikan sebuah penyelesaian konkret, atau membangun suatu kerangka yuridik-teknikal, bagi semua masalah konkret, atau membangun suatu kerangka yuridik-teknikal yang didasarkan pada sejumlah masalah yang ada atau yang ada kemudian harus dapat memperoleh penyelesaian yang yuridik.
FILSAFAT HUKUM
Filsafat adalah penelitian yang menelaah pertanyaan sejauh mana orang dapat memperoleh dan mengembangkan pengetahuan tentang hukum dan bahan-bahan terberi dan gagasan-gagasan yang terkait, apa kriteria untuk keilmiahan dari pengetahuan tersebut. Penggolongan ke dalam bagian-bagian dari berbagai jenis pengetahuan tentang hukum.
Filsafat Hukum adalah filsafat umum yang di terapkan pada hukum atau gejala– gejala hukum. Dalam filsafat pertanyaan–pertanyaan yang sering dibahas dalam hubungan dengan makna, landasan, struktur dan sejenisnya dari kenyataan. Dalam filsafat hukum pertanyaan–pertanyaan ini difokuskan secara yuridikal.
Dalam kepustakaan, Filsafat Hukum didefenisikan;
a. Sebagai sebuah disiplin spekulatif, yang berkenan dengan penalaran–penalaran tidak selalu dapat diuji secara rasional, dan yang menyibukan diri dari latar belakang dengan pemikiran (I. Tammelo).
b.  Sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang hukum yang “benar” hukum yang adil (J. Schmidt H. Kelsen).
c.  Sebagai sebuah refleksi atas dasar–dasar dari kenyataan (yuridikal), suatu bentuk dari berpikir sistematikal yang hanya akan merasa puas dengan hasil–hasil yang timbul dari dalam pemikiran (kegiatan berpikir) itu sendiri dan yang mencari suatu hubungan teoritikal terefleksi yang didalamnya gejala-gejala hukum dapat dimengerti dan dipikirkan (D. Meuwissen)
d. Sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang hakekat (sifat) dari keadilan. Pengetahuan tentang bentuk keberadaan transeden dan immanen dari hukum. Pengetahuan tentang nilai–nilai yang didalamnya hukum berperan dan dengan hubungan antara hukum dan keadilan. Pengetahuan tentang moral dan dari ilmu hukum. Dan pengetahuan antara hukum dan moral (J. Darbellay).
Filsafat Hukum dapat dibagi ke dalam sejumlah wilayah bagian:
a. Ontology hukum ( ajaran hal ada, zijnsleer): penelitian tentang “hakikat“ dari hukum. Tentang “hakikat” misalnya dari demokrasi, tentang hubungan antara hukum dengan moral.
b. Aksiologi Hukum (ajaran nilai, waardenleer) : penentuan isi dan nilai–nilai seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, penyalahgunaan hak.
c. Ideologi Hukum (harafiah: ajaran idea, ideenleer): pengolahan wawasan menyeluruh atas manusia dan masyarakat yang dapat berfungsi sebagai landasan legitimasi bagi pranata – pranata hukum yang ada atau yang akan datang. Misalnya tatanan – tatanan hukum kodrat.
d. Epistemology hukum (ajaran pengetahuan, kennisleer: penelitian tentang pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang “hakikat” dari hukum atau masalah– masalah fundamental lainnya.
e. Teleologi Hukum (ajaran finalitas, finaliteitsleer) : menentukan makna dan tujuan dari hukum.
f. Ajaran ilmu (wetenschapsleer) : meta-teori dari ilmu hukum yang di dalamnya menjawab pertanyaan – pertanyaan sejauh mana pengetahuan ilmiah dari hukum.
g. Logika Hukum (rechtslogika) : penelitian tentang aturan-aturan berpikir hukum dan argumentasi yuridik, bangunan logikal serta struktur sistem hukum.
Filsafat hukum harus melakukan perenungan diri (zelfreflektie). Pada wilayah filsafat hukum tiap unsur ilmiah-positif secara a priori akan tertutup. Filsafat  hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran spekulatif maka filsafat hukum dapat bersifat rasional hanya atas dasar kriterianya sendiri, yang keberadaannya sendiri dapat didiskusikan.
Filsafat Hukum berada pada tataran yang lebih tinggi dari pada teori hukum dan ia memiliki suatu cakrawala yang lebih luas, karena Filsafat Hukum harus memberikan jawaban-jawaban yang untuk sebuah tata hukum(rechtsbesial) atau tatanan hukum (rechtsorde) dapat memuaskan dan tuntas.
Filsafat Hukum harus memberikan atau menyediakan pengertian–penertian dan nilai – nilai  fundamental yang akan digunakan pada karya ilmiah empirikal, dalam dogmatik hukum dan teori hukum. 
TEORI HUKUM
Teori Hukum adalah mencari (memperoleh) penjelasan tentang hukum dari sudut faktor – faktor bukan hukum yang bekerja di dalam masyarakat dan untuk itu menggunakan suatu metode interdisipliner. Dengan demikian penetapan tujuan dan metode, teori hukum membedakan diri secara wajar dari pengembanan hukum praktikal.
Teori Hukum mempelajari hukum dengan tujuan suatu pemahaman yang lebih baik dan terutama lebih mendasar tentang hukum, demi hukum, bukan demi suatu pemahaman dalam hubungan – hubungan kemasyarakatan atau dalam kaidah-kaidah etikal yang dianut dalam masyarakat atau dalam reaksi-reaksi psikologikal dari suatu penduduk. Teori hukum adalah cabang dari ilmu hukum bukan ilmu bantu dari ilmu hukum.         
Teori Hukum harus berupaya untuk memulihkan kesatuan antara aspek hukum dan kenyataan kemasyarakatan. Mempersatukan keterbagaian yang ditata oleh ilmu-ilmu dan keharusan-keharusan akademik kedalam suatu gambaran menyeluruh yang setia pada kebenaran. Untuk itu teori hukum akan harus mengandalkan ilmu-ilmu (sejarah, sosiologi, ekunomi dll), karena factor-faktor pembentuk  hukum yang berdasarkannya teori hukum harus menjelaskan hukum.
Teori Hukum sebagai penelitian interdisipliner memancar ke sekian banyak disiplin sesuai atau mengikuti banyaknya metode-metode yang digunakan. Terhadap ini dapat dikatakan bahwa teori hukum memberikan pimpinan pada penelitian, karena itu selalu hadir agar objek penelitian sebagai gejala yuridikal dapat tetap pada sasaran titik bidik (vizier) “dengan mengingat” hukum dan demi hukum .
Teori Hukum adalah suatu cabang dari ilmu hukum yang merujuk pada sejumlah cabang-cabang ilmu yang otonom dan mengolah dan mensintetisasi semua bahan-bahan yang terberi yang dihasilkan dari penelitian ilmu-ilmu tersebut menjadi sasaran diagnosis dan terapi-terapi yang relevan.
Teori Hukum sebagai kelanjutan dari ajaran hukum umum memiliki objek disiplin mandiri suatu tempat diantara dogmatika hukum di satu sisi dan filsafat hukum di sisi lain. Di saat ajaran hukum masih dipandang sebagai pengganti atau penerus ilmiah-positif dari filsafat hukum metafisikal yang tidak ilmiah, dewasa ini teori hukum teori hukum diakui sebagai disiplin ketiga di samping dan untuk melengkapi, filsafat hukum dan dogmatic hukum, yang masing-masing memiliki (mempetahankan) wilayah sendiri dan nilai sendiri.
Teori Hukum bertujuan untuk menguraikan hukum secara ilmiah positif, namun wilayah penelitiannya sebagiannya luas dan sebagian tergeser (verschohen).teori hukum berbicara tentang hukum bertolak dari suatu perspektif bukan yuridik (teknikal) dalam suatu bahasa bukan yuridik (teknikal).
Teori Hukum melakukan studi kritikal terhadap penalaran dari ilmuan dan instrumentarium konsep-konsep yuridik, teknik-teknik interpretasi dan criteria untuk keberlakuan aturan – aturan hukum yang digunakannya
Jadi Teori Hukum dan Dogmatik Hukum tidak saling tumpang tindih, melainkan mempunyai masing-masing wilayah telaah yang mandiri.
Dogmatik Hukum bertujuan untuk memberikan suatu pemaparan dan sistematisasi hukum positif yang berlaku, sedangkan Teori Hukum bertujuan untuk memberikan refleksi atas pemaparan dan sistematisasi.
Jika Dogmatik Hukum mempelajari aturan-aturan hukum dari suatu pendekatan teknikal (walaupun tidak a-normatif), maka Teori Hukum pertama-tama adalah sebuah refleksi terhadap teknik  hukum itu.
Dogmatik Hukum berbicara tentang hukum, sedangkan Teori Hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuan hukum berbicara hukum.
Sedangkan hubungan Teori Hukum dan Filsafat Hukum dapat dirangkum sebagai sebuah hubungan meta-disiplin (filsafat hukum) terhadap disiplin objek (teori hukum). Filsafat Hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran spekulatif, sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah-positif terhadap gejala hukum. Dengan demikian pikiran spekulatif ini maka Filsafat Hukum dapat bersifat rasional hanya atas dasar kriterianya sendiri, yang keberadaannya sendiri didiskusikan. Sebaliknya Teori Hukum itu rasional atas dasar criteria umum, yang di terima oleh tiap orang.
Jadi Teori Hukum muncul karena “kelesuan” diantara Filsafat Hukum yang terlalu abstrak dan spekulatif, sementara Dogmatik Hukum dipandang terlalu konkret terkait dengan waktu.
Teori ilmu hukum bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin mengenai bahan hukum yang tersaji dalam kegiatan yuridis di dalam kenyataan masyarakat objek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis dalam hukum dan kritik ideologi  terhadap hukum.  

was102010